Friday, September 30, 2011

Makna Haji, Dr Ali Syariati

Cover Buku Makna Haji (dwiki scan)PELAJARAN apa yang saya petik dari pengalaman menunaikan ibadah haji? Pertama-tama sebaiknya kita bertanya tentang apa arti haji. Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukan tentang ‘penciptaan’, ’sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.
Demikian ungkap cendekiawan muslim terkemuka Iran, DR Ali Syariati pada halaman pembukaan buku karyanya Hajj (The Pilgrimage) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Zahra menjadi Makna Haji.
Goresan pena Syariati pada pembukaan buku yang telah saya kutip di atas dilanjutkan dengan ilustrasi yang menarik. Kata Ali Syariati, “Allah (Tuhan) adalah sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya meliputi Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukannya adalah Masjid al-Haram, daerah Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina. Simbol-simbol yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahari terbenam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make up-nya adalah ihram, halgh dan taqshir (mencukur sebagian rambut kepala). Yang terakhir dari peran-peran dalam ‘pertunjukan’ ini adalah hanya seseorang, yakni dirimu sendiri.”

Ditandaskan pula oleh Syariati bahwa tidak peduli apakah engkau seorang laki-laki atau perempuan, muda atau tua, kulit hitam atau kulit putih, engkau adalah aktor utama dalam pergelaran ini. Engkau berperan sebagai Adam, Ibrahim dan Hajar dalam konfrontasi antara ‘Allah dengan setan’. Konsekuensinya, engkau adalah pahlawan dari pertunjukan ini.

Tentang buku Hajj itu sendiri, Ali Syariati memang mengungkapkan bukan sebuah buku tentang ‘jurisprudensi religius’ melainkan sekedar risalah yang mengajak pembacanya untuk berpikir.
Haji dalam pemahaman Syariati merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.
Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.
Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal. Syariati mencontohkan, dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pakaian ihram, menurutnya, melambangkan pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. “Tak dapat disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dengan lainnya,” tulis Syariati.
Menurutnya, pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.

Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. “Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa,” tandas Syariati
Selanjutnya, Ka’bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail.
Ali Syariati, melalui ketajaman analisanya, mengajak kita untuk menyelami makna haji. Menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh makna, bukan yang hampa tak bermakna. Diajaknya kita untuk memahami haji sebagi langkah maju “pembebasan diri”, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati.
Melalui uraiannya yang khas dan membangkitkan semangat, kita diberitahu siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya.
Penulis buku ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih!
Tidak kalah dahsyat pula, pandangan Ali Syariati mengenai pilar-pilar doktrin Islam dalam pengantar buku Hajj ini. Ia mengatakan, “Sejauh yang saya ketahui, dari sudut pandang praktis dan konseptual, pilar-pilar doktrin Islam terpenting yang memotivasi bangsa Muslim dan menjadikannya sadar, bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial adalah: tauhid, jihad, dan haji.”
Sebuah buku menarik dan merangsang pikiran yang layak anda baca...
Resensi oleh :
Dwiki Setiyawan, Kompasianer pengagum Ali Syariati.
Sumber : http://agama.kompasiana.com

No comments: